Harun dilahirkan empat tahun sebelum Musa. Beliau yang fasih berbicara dan mempunyai pendirian tetap sering mengikuti Musa dalam menyampaikan dakwah kepada Firaun, Hamman dan Qarun. Nabi Musa sendiri mengakui saudaranya fasih berbicara dan berdebat, seperti diceritakan al-Quran: "Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku, sesungguhnya aku kawatir mereka akan berdusta."
Nabi Harun hidup selama 123 tahun. Beliau wafat 11 bulan
sebelum kematian Musa, yaitu sebelum Bani Israil memasuki Palestina. Mengenai
Bani Israel, mereka sukar dipimpin, namun dengan kesabaran Musa dan Harun,
mereka dapat dipimpin supaya mengikuti syariat Allah, seperti terkandung dalam
Taurat ketika itu.
Selepas Harun dan Musa meninggal dunia, Bani Israel dipimpin
oleh Yusya' bin Nun. Namun, selepas Yusya' mati, lama-kelamaan mereka
meninggalkan syariat yang terkandung dalam Taurat, sehingga menimbulkan
perselisihan dan perbedaan pendapat, akhirnya menyebabkan perpecahan Bani
Israel.
Pengutusan Nabi Harun
Riwayat Nabi Harun tidak terpisahkan dengan Nabi Musa, dan
dakwahnya dilakukan bersama dengan Musa, karena tugas Nabi Harun untuk membantu
Nabi Musa dalam berdakwah.
Pada masa Nabi Yusuf, sekelompok bani Israil telah menetap
di daerah Mesir setelah bermigrasi dari negeri Kan'an. Mereka adalah pemeluk
agama tauhid yang berpegang teguh pada agama Nabi Ibrahim, berbeda dengan para
fir'aun yang menyembah patung dan berhala. Seiring kemajuan zaman, petumbuhan
bani Israil pun berkembang pesat.
Para fir'aun khawatir jika mereka mencampuri urusan politik
dan agama kehidupan masyarakat Mesir. Akhirnya, mereka menyiksa bani Israil
dengan siksaan yang pedih. Hal ini terekam dalam firman Allah, "(ingatlah)
ketika Kami selamatkan kamu dari (Firaun) dan pengikut-pengikutnya; mereka
menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya. Mereka menyembelih
anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan
pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabbmu,"
(QS. Al-Baqarah [2]: 49).
Ditengah kesulitan yang dialami bani Israil, Allah
berkehendak atas kelahiran Musa. Sang ibu pun menyembunyikan kelahirannya,
sebagaimana firman Allah, "Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa;
"Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia
ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih
hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan
menjadikannya (salah seorang) dari para rasul," (QS. Al-Qashash [28]: 7).
Janji Allah untuk untuk menjaga bayi ini pun terbukti.
Fir'aun memperbolehkan istrinya mencari seorang ibu yang mau menyusui bayi
tersebut. Dia pun menemukan ibu Musa dan menyuruhnya agar menyusui sang bayi.
Musa dibesarkan di lingkungan istana Fir'aun, di tangan para
dukun dan pemuka-pemuka agama mereka. Ketika dewasa, Allah memberinya ilmu dan
hikmah. Pada suatu hari, ada orang Mesir yang mengejek dan memaksa seseorang
bani Israil melakukan suatu pekerjaan untuknya. Orang bani Israil itu lantas
meminta pertolongan Nabi Musa. Dia pun menolongnya dan memukul orang Mesir itu,
dan tanpa sengaja orang itu mati.
Pada hari berikutnya, orang bani Israil kembali berkelahi
dengan orang Mesir yang lain. Orang bani Israil itu lantas meminta pertolongan
lagi kepada Nabi Musa. Akan tetapi Nabi Musa malah membentak dan memarahi orang
Israil itu karena seringnya dia berbuat buruk. Orang Israil itu mengira Musa
akan membunuhnya. Dia pun segera bertanya, "Apakah engkau ingin
membunuhku seperti orang Mesir kemarin?"
Mendengar cerita pembunuhan itu, orang Mesir tersebut segera
menemui kaumnya dan menceritakan apa yang terjadi. Fir'aun pun segera mengirim
pasukan mencari Musa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, salah
seorang yang menyayangi Musa segera memberi tahunya setelah mendengar sesuatu
yang terjadi di istana Fir'aun. Dia menyuruh Musa pergi meninggalkan bahaya
ancaman Fir'aun. Musa pun pergi meninggalkan Mesir menuju Madyan, daerah di
bagian barat laut Jazirah Arab.
Di Madyan, Musa tinggal di rumah orang tua yang beriman,
yaitu Nabi Syuaib. Setelah orang tua itu (Nabi Syuaib) melihat keluhuran akhlak
dan tanggung jawab Musa yang sangat tinggi, dia lalu menikahkan Musa dengan
salah satu putri beliau. Musa kemudian ingin kembali ke mesir setelah beberapa
lama tinggal di Madyan.
Ketika sampai di Bukit Tursina, Musa tersesat. Tibalah waktu
malam saat Allah hendak memberikan tugas kenabian dan wahyu kepadanya. Pada
saat itu, malam terasa dingin dan Musa melihat cahaya api dari kejauhan. Dia
lantas menyuruh keluarganya agar tidak meninggalkan tempat mereka karena dia
ingin pergi mencari sedikit api untuk penerangan. Tatkala dia sampai ke tempat
api tersebut, Allah berfirman kepadanya, "Sungguh, Aku ini Allah, tidak
ada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat-Ku," (QS. Thaha [20]: 14).
Hal itu kemudian menjadi tanda awal kenabian Musa sebagai
Kalimullah. Permintaan Musa pun dikabulkan dan Allah mengutus pula saudaranya,
Harun sebagai pendampingnya.
Allah memerintahkan mereka berdua (Musa dan Harun) agar
bertutur lemah lembut saat memperingatkan Fir'aun. Selain itu, mereka juga
diperintahkan untuk mengatakan kepada Fir'aun, "Kami adalah utusan Rabb
alam semesta kepadamu. Lepaskanlah bani Israil dan jangan siksa mereka.
Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk."
Pada saat itulah kesombongan menguasai Fir'aun hingga dia
berkata kepada Musa, "Bukanlah kami yang mengasuhmu sewaktu
kecil?1" Dia pun menyebutkan berbagai kebaikannya terhadap Musa,
bahkan mulai mengejek dan menuduh Nabi Musa dan Nabi Harun melakukan sihir.
Fir'aun lalu memerintahkan tukang sihirnya untuk menghadapi mereka berdua. Ahli
sihir Fir'aun pun berdatangan dan melemparkan tali-tali mereka dan menyihirnya
menjadi ular untuk menandingi Musa. Nabi Musa lantas melemparkan tongkatnya
yang kemudian berubah menjadi ular dan menelan ular-ular mereka atas
pertolongan Allah.
Melihat mukjizat itu, para ahli sihir Fir'aun pun mengimani
Musa dan syariat Allah yang dia bawa. Mereka juga tidak memedulikan berbagai
ancaman Fir'aun. Mereka semua berkata seperti yang diabadikan al-Qur'an, "Sesungguhnya
kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan
kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah
lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (adzab-Nya)," (QS. Thaha [20]:
73).
Fir'aun lalu berencana membunuh Musa dan Harun serta semakin
keras menyiksa bani Israil. Nabi Musa memerintahkan mereka untuk menguatkan
jiwa dan bersabar. Dia kemudian berdoa kepada Allah agar menurunkan adzab yang
pedih kepada Fir'aun dan kaumnya. Allah berfirman,"Maka Kami kirimkan
kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah
menjadi darah) sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri
dan mereka adalah kaum yang berdosa. )," (QS. Al-A'raf [7]: 133).
Ketika Fir'aun dan kaumnya sudah tidak berdaya dengan adzab
dengan adzab yang menimpa mereka, dia pun meminta kepada Musa agar berdoa kepada
Allah untuk menghentikan siksaan itu. Fir'aun kemudian berjanji tidak akan lagi
menyiksa bani Israil. Nabi Musa lantas memohon kepada Allah agar menghentikan
siksaan itu dan Allah pun mengakhirinya. Namun, Fir'aun ingkar janji, dan dia
kembali menyiksa bani Israil untuk kedua kalinya.
Sementara itu, bani Israil berkumpul dan meminta kepada Nabi
Musa dan Nabi Harun agar dia membawa mereka keluar dari Mesir. Nabi Musa dan
Nabi Harun pun membawa kaumnya dan berangkat ke arah negeri Kan'an melewati
Sinai. Fir'aun beserta bala tentaranya mengejar mereka. Namun, Nabi Musa dan
Nabi Harun beserta kaumnya dapat menyeberangi laut dengan mukjizat yang telah
Allah berikan kepada Musa. Fir'aun dan pasukannya juga ikut menyeberang laut
mengejar mereka, tetapi Allah menenggelamkan Fir'aun beserta seluruh
tentaranya.
Nabi Musa dan Nabi Harun serta bani Israil tiba di padang
pasir negeri Sinai. Setelah melihat banyak perbedaan antara daerah itu dan
negeri sungai Nil yang subur (Mesir), mereka mengajukan berbagai permintaan
kepada Nabi Musa. Nabi Musa telah menerima Taurat. Di dalamnya terdapat beragam
syariat samawiyah. Kaumnya mulai menyeleweng, terlebih setelah Nabi Musa pergi
untuk menerima lembaran wahyu. As-Samiri telah mempengaruhi bani Israil untuk
menyembah anak sapi sehingga mereka meminta kepada Musa agar dibuatkan patung
untuk disembah.
Nabi Musa lantas marah dan mengecam permintaan mereka. Dia
ingin menjadikan sebuah pusat pemerintahan untuk kaumnya. Dia kemudian pergi
menuju kota Ariha (Jericho), tetapi kaumnya tidak mau dan berkata seperti
termaktub dalam al-Qur'an, "Mereka berkata, 'wahai Musa, sampai
kapanpun kami tidak akan memasuki, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu,
pergilah engkau bersama Rabbmu, dan berperanglah kalian berdua, biarlah kami
tetap (menanti) di sini saja,' " (QS. Al-Ma'idah [5]: 24).
Di saat mereka menolak untuk masuk negeri yang disucikan
itu, Allah membalasnya dengan adzab. Mereka pun tersesat di lembah Tih selama
40 tahun. Beberapa tahun setelah itu, Nabi Harun wafat lalu disusul Nabi Musa.
Setelah Nabi Musa wafat, bani Israil baru merasakan buruk dan bodohnya
perbuatan serta tingkah laku mereka kepada Nabi Musa. Karena itu, mereka
mengangkat Yusya' bin Nun sebagai Raja. Dialah yang kemudian membawa mereka
menyeberangi sungai Jordan (asy-Syari'ah) menuju kota Ariha dan tinggal di
sana.
0 Comment:
Post a Comment