Latar belakang pertempuran
Mendung kesedihan masih saja menyelimuti kota Makkah. Tak
bisa dipungkiri lagi bahwa kaum Musyrikin Quraisy tak mampu menyembunyikan duka
lara mendalam perihal kekalahan telak mereka pada perang Badar tahun ke-2
Hijriyah, hati mereka tersayat pilu tak terkira. Berita kalahnya pasukan
Quraisy terasa begitu cepat menyebar keseluruh penjuru kota Makkah, bak awan
bergerak menutupi celah celah langit yang kosong di musim penghujan. Namun
sangat disayangkan, kekalahan telak kaum paganis Quraisy pada perang itu tak
mampu merubah sikap bengis mereka terhadap kaum muslimin. Dendam kesumat nan
membara tertancap kokoh dalam hati mereka, tewasnya tokoh-tokoh Quraisy
berstrata sosial tinggi pada peristiwa nahas itu semakin menambah kental
kebencian Quraisy terhadap kaum muslimin.
Persiapan pasukan Quraisy
Tokoh-tokoh Quraisy seperti Ikrimah bin Abu Jahal,
Shafwan bin Umayah, dan Abu Sufyan bin Harb (sebelum mereka masuk Islam)
bangkit sebagai pelopor-pelopor yang sangat getol mengobarkan api balas dendam
terhadap Islam dan pemeluknya. Para orator ulung bangsa Arab tersebut menempuh
langkah-langkah strategis untuk memuluskan program balas dendam tersebut,
mula-mula mereka melarang warga Makkah meratapi kematian korban tewas perang
Badar kemudian menunda pembayaran tebusan kepada kaum muslim untuk membebaskan
tawanan Quraisy yang masih tersisa di Madinah. Mereka sibuk menggalang dana
untuk menyongsong aksi balas dendam, mereka datang kepada para pemilik kafilah
dagang Quraisy yang merupakan pemicu utama terjadinya perang Badar, seraya
menyeru :
”Wahai orang-orang Quraisy! Sungguh Muhammad telah
menganiaya kalian serta membunuh tokoh-tokoh kalian! Maka bantulah kami dengan
harta kalian untuk membalasnya! Mudah-mudahan kami bisa menuntut balas terhadap
mereka.”
Rencana tersebut mendapat respon hangat dari masyarakat
Quraisy, kontan dalam waktu yang sangat singkat terkumpul dana perang yang
cukup banyak berupa 1000 onta dan 50.000 keping mata uang emas. Sebagaimana
yang Allah Subhaanallaahu wa Ta’aala lansir pada ayat
ketigapuluh enam dari surat Al-Anfal:
Sesungguhnya orang-orang kafir itu mereka menginfakkan
harta mereka untuk menghalangi manusia dari jalan Allah…
Hari demi hari tampak upaya mereka mendapat hasil
signifikan. Betapa tidak, hanya dalam kurun waktu satu tahun saja mereka mampu
menghimpun pasukan tiga kali lipat lebih besar dibanding jumlah pasukan Quraisy
pada perang setahun lalu (perang Badar) ditambah fasilitas persenjataan yang
memadai terdiri dari 3000 onta, 200 kuda dan 700 baju besi, jumlah total
pasukan tidak kurang dari 3000 prajurit ditambah lima belas wanita bertugas
mengobarkan semangat tempur dan menghalau pasukan lari mundur kebelakang.
Bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan Quraisy adalah
Abu Sufyan bin Harb, adapun pasukan berkuda dibawah komando Khalid bin Al
Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal, sementara panji- panji perang dipegang
para ahli perang dari Kabilah Bani Abdud Dar, dan barisan wanita dibawah
koordinasi Hindun bintu ’Utbah istri Abu Sufyan. Terasa lengkap dan cukup
memadai persiapan Quraisy dalam periode putaran perang kali ini, arak-arakan
pasukan besar sarat anarkisme dan angkara murka kini tengah merangsek menuju
Madinah menyandang misi balas dendam.
Sampainya kabar kepada Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam
Beliau menerima surat rahasia dari Al Abbas bin Abdul
Mutthalib paman beliau yang masih bermukim di Makkah. Kala itu Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam berada di Quba, Ubay bin Ka’ab diminta untuk membaca
surat tersebut dan merahasiakan isinya. Beliau bergegas menuju Madinah
mengadakan persiapan militer menyongsong kedatangan ’tamu tak diharapkan itu’.
Bak angin berhembus, berita pergerakan pasukan kafir Quraisy
menyebar keseluruh penjuru Madinah, tak ayal kondisi kota itu mendadak
tegang , penduduk kota siaga satu, setiap laki-laki tidak lepas dari
senjatanya walau dalam kondisi shalat. Sampai-sampai mereka bermalam di depan pintu
rumah dalam keadaan merangkul senjata.
Majelis musyawarah militer
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan
para sahabatnya sembari bersabda :
”Demi Allah sungguh aku telah melihat pertanda baik, aku
melihat seekor sapi yang disembelih, pedangku tumpul, dan aku
masukkan tanganku didalam baju besi, aku ta’wilkan sapi dengan gugurnya
sekelompok orang dari sahabatku, tumpulnya pedangku dengan gugurnya salah satu
anggota keluargaku sementara baju besi dengan Madinah”.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpendapat
agar tetap bertahan di dalam kota Madinah dan meladeni tantangan mereka di
mulut-mulut lorong kota Madinah. Pendapat ini disetujui oleh Abdullah bin Ubay
bin Salul, Abdullah bin Ubay memilih pendapat ini bukan atas pertimbangan
strategi militer melainkan agar dirinya bisa dengan mudah kabur dari
pertempuran tanpa mencolok pandangan manusia. Adapun mayoritas para
sahabat, mereka cenderung memilih menyambut tantangan Quraiys di luar Madinah
dengan alasan banyak diantara mereka tidak sempat ambil bagian dalam perang
Badar, kali ini mereka tidak ingin ketinggalan untuk ’menanam saham’ pada
puncak amalan tertinggi dalam Islam (JIHAD). Hamzah bin Abdul Mutthalib
sangat mendukung pendapat ini seraya berkata :
”Demi Dzat Yang menurunkan Al Qur’an kepadamu, sungguh Aku
tidak akan makan sampai Aku mencincang mereka dengan pedangku di luar Madinah.”
Dengan mempertimbangkan berbagai usulan para sahabat
akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memutuskan
untuk menjawab tantangan Quraisy di medan terbuka luar kota Madinah. Dan
meninggalkan selera Abdullah bin Ubay.
Hari itu Jum’at tanggal 6 Syawwal 3 H beliau memberi wasiat
kepada para sahabat agar bersemangat penuh kesungguhan dan bahwasannya Allah
akan memberi pertolongan atas kesabaran mereka. Lalu mereka shalat Ashar dan
Beliau beranjak masuk kedalam rumah bersama Abu Bakar dan Umar bin Al Khathab,
saat itu beliau mengenakan baju besi dan mempersiapkan persenjataan.
Para sahabat menyesal dengan sikap mereka yang terkesan
memaksa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk keluar
dari Madinah, tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam keluar
mereka berkata:
”Wahai Rasulullah, kami tidak bermaksud menyelisihi
pendapatmu, putuskanlah sekehendakmu! Jika engkau lebih suka bertahan di Madinah
maka lakukanlah!”
Beliau menjawab:
”Tidak pantas bagi seorang nabi menanggalkan baju perang
yang telah dipakainya sebelum Allah memberi keputusan antara dia dengan
musuhnya.”
Kondisi umum pasukan Islam
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam membagi
pasukan Islam menjadi tiga batalyon : Batalyon Muhajirin dibawah komando
Mush’ab bin Umair, Batalyon Aus dikomando oleh Usaid bin Hudhair dan Batalyon
Khazraj dipimpin oleh Khabbab bin Al Mundzir . Jumlah total pasukan Islam hanya
1000 orang, dengan perlengkapan fasilitas serba minim berupa 100 baju besi dan
50 ekor kuda (dikisahkan dalam sebuah riwayat: tanpa adanya kuda sama sekali)
dalam perang ini. Wallahu a’lam
Sesampainya pasukan Islam disebuah tempat yang dikenal
dengan Asy Syaikhan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam menyeleksi beberapa para sahabat yang masih sangat dini usia
mereka diantaranya Abdullah bin Umar bin Al Khathab, Usamah bin Zaid, Zaid bin Tsabit, Abu Said Al Khudry dan beberapa sahabat
muda lainnya, tak urung kesedihan pun tampak di wajah mereka dengan terpaksa
mereka harus kembali ke Madinah.
Orang-orang munafikin melakukan penggembosan
Berdalih karena pendapatnya ditolak oleh Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam, tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan aksi
penggembosan dalam tubuh pasukan Islam. Musuh Allah ini berhasil memprovokasi
hampir sepertiga jumlah total pasukan, tidak kurang dari 300 orang kabur
meninggalkan front jihad fisabilillah. ’Manusia bermuka dua’ ini memang sengaja
melakukan aksi penggembosan ditengah perjalanan agar tercipta kerisauan di hati
pasukan Islam sekaligus menyedot sebanyak mungkin kekuatan muslimin.
Strategi militer Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Sallam dan tugas pasukan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sang
ahli strategi militer mengatur barisan pasukan dan membagi tugas serta misi
mereka. Beliau menempatkan 50 pemanah di bukit Ainan bertugas sebagai
sniper-sniper dibawah komando Abdullah bin Jubair bin Nu’man Al Anshary, Beliau
memberi intruksi militer seraya bersabda :
”Gempurlah mereka dengan panah-panah
kalian!Jangan tinggalkan posisi kalian dalam kondisi apapun! Lindungi
punggung-punggung kami dengan panah-panah kalian! Jangan bantu
kami sekalipun kami terbunuh! Dan jangan bergabung bersama
kami sekalipun kami mendapat rampasan perang!. Dalam riwayat Bukhari:jangan
tinggalkan posisi kalian sekalipun kalian melihat burung-burung
telah menyambar kami sampai datang utusanku kepada kalian!
Sesampainya di Uhud kedua pasukan saling mendekat, panglima
kafir Quraisy Abu Sufyan berupaya memecah persatuan pasukan Islam, dia berkata
kepada kaum Anshar: ”Biarkan urusan kami dengan anak-anak paman kami
(Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan kaum Muhajirin)!
Maka kami tidak akan mengusik kalian, kami tidak ada kepentingan memerangi
kalian!”
Akan tetapi, upaya Abu Sufyan tidak menuai hasil karena
kokohnya keimanan kaum Anshar. Justru sebaliknya, mereka membalasnya dengan
ucapan yang amat pedas yang membuat panas telinga orang yang mendengarnya.
Awal mula pertempuran
Thalhah bin Abi Thalhah Al Abdary pemangku panji perang
kafir Quraisy, seorang yang dikenal sangat mahir dan pemberani maju
menantang mubarazah (duel), secepat kilat Zubair Ibnul Awwam
menerkam dan membantingnya, Thalhah tak berdaya melepas nafas terakhirnya
dengan leher menganga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertakbir
dan bertakbirlah kaum muslimin.
Bangkitlah Abu Syaibah Utsman bin Abi Thalhah mengibarkan
kembali panji tersebut, dengan penuh kesombongan menantang duel, secepat kilat
pula Hamzah bin Abdul Mutthalib menghantam pundaknya dengan sabetan pedang yang
sangat kuat hingga menembus pusarnya tak ayal tangan dan pundaknya terlepas,
Utsman tersungkur tak berdaya meregang nyawa. Berikutnya Abu Sa’ad bin Abi
Thalhah mengambil panji tersebut namun seiring dengan itu anak panah Sa’ad bin
Abi Waqash menembus kerongkongannya.
Musafi’ bin Abi Thalhah memberanikan diri mengangkat kembali
panji Quraisy namun ia tewas mendadak tersambar runcingnya anak panah Ashim bin
Tsabit bin Abul Aflah. Berikutnya Kilab bin Thalhah bin Abi Thalhah saudara
kandung Musafi’ mengibarkan kembali panji itu namun ia segera roboh ketanah
mengakhiri hidupnya setelah pedang Zubair bin Al Awwam menyambar badannya. Al
Jallas bin Abi Thalhah segera menopang kembali menopang panji itu, namun
sabetan pedang Thalhah bin Ubaidillah segera memecat nyawa dari tubuhnya.
Keenam pemberani tersebut berasal dari satu keluarga kabilah Bani Abdi Dar.
Kemudian Arthah bin Syurahbil maju namun Ali bin Abi Thalib
tak membiarkannya hidup lama menenteng panji dan langsung melibasnya, realita
yg sungguh spektakuler, tidaklah seorang pun dari kaum musyrikin mengambil
panji tersebut melainkan terenggut nyawanya hingga genap sepuluh orang menemui
ajalnya disekitar panji perang musyrikin. Setelah itu tak ada seorang pun dari
mereka yang bernyali mengambil panji yang tergeletak di bumi Uhud.
Perang pun Berkobar
Genderang perang semakin nyaring saja bunyinya, kucuran
darah, ringkikan kuda, dencing suara pedang beradu semakin menambah warna
kental suasana bumi Uhud saat itu. Perang berkecamuk merata di setiap titik bak
kobaran api menjalar membakar rerumputan kering, jagoan-jagoan Islam
benar-benar menampakkan kehebatan dan kepiawaian mereka dalam putaran perang
kali ini, militansi pasukan Islam merupakan buah dari kekuatan iman yang
merasuk dan terpatri kuat dalam hati mereka, seakan-akan iman telah memenuhi
setiap pembuluh darah mereka, kecilnya jumlah tak menciutkan nyali para pejuang
demi tegaknya agama Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi.
Mereka begitu yakin bahwa kematian tidak akan dipercepat dengan perang dan
tidak pula diundur dengan meninggalkannya.
Bermodalkan iman dan semangat membaja mereka bertawakal
kepada Rabbul Alamin menggadaikan nyawa mereka demi kenikmatan
abadi disisi Allah subhanahu wa ta’ala –Al-Jannah (surga)–.
Kala itu Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan
sebilah pedang seraya bersabda,
”Siapa yang hendak mengambil pedang ini sesuai dengan
haknya?” Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu
‘anhu dan sejumlah para shahabat bergegas maju, berizin untuk
mengambil pedang itu. Namun, meski demikian, beliau belum juga
menyerahkannya kepada salah seorang pun hingga Abu Dujanah Simak bin Kharasyah radhiyallahu ‘anhu maju,
sembari berujar, ”Apa hak pedang itu wahai Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wa sallam?” ”Engkau sabetkan pada musuh sampai bengkok,” jawab
beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku yang akan mengambil
dengan haknya, wahai Rasulullah,” pinta Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu.
Barulah setelah itu, beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam memberikannya
kepadanya.
Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
“Muncul dalam hatiku kekecewaan tatkala Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wa sallam menolak permintaanku, Aku berkata dalam hatiku, ’Aku
adalah anak bibi beliau Shafiyah bintu Abdul Muththalib. Aku dari bangsa
Quraisy. Aku lebih dahulu meminta pedang itu, namun justru beliau memberikannya
kepada Abu Dujanah dan menolakku. Demi Allah, aku akan perhatikan sepak terjang
Abu Dujanah!’ Maka aku selalu mengikutinya. Mula-mula ia memakai surban merah.
Kaum Anshar berkata, ’Apakah Abu Dujanah keluar dengan surban kematian?’ Ia pun
keluar sembari mendendangkan syair-syair.”
Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu melibas
setiap musuh yang menghadangnya, tidak ada satu musuh pun yang ia lewati
melainkan menjadi seonggok mayat, ia menggempur, menyibak barisan musuh sampai
menembus pertahanan Quraisy paling belakang yaitu barisan prajurit wanita
Quraisy. Kalau bukan karena kemuliaan pedang Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wa sallam untuk membunuh seorang wanita, tentunya kepala
Hindun bintu Utbah telah lepas dari badannya. Namun Abu Dujanah radhiyallahu
‘anhu menarik pedang yang sudah berada tepat diatas kepala Hindun
(sebelum masuk Islam), ia menghindar dan meninggalkan komandan pasukan wanita
Quraisy itu sembari berkata, ”Allah subhanahu wa ta’ala dan
RasulNya lebih mengetahui.”
Gugurnya Paman Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wa sallam Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu
‘anhu sebagai Syahid
Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu seorang
yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela Islam, orang yang tidak
pernah merasa takut melawan kezhaliman, pemberani dan mahir dalam perang
menggempur jantung pertahanan musuh bak singa jantan menerkam mangsa, mengamuk,
menumbangkan setiap lawan tanpa hambatan, musuh kocar-kacir bak daun-daun
kering diterpa angin. Singa Allah subhanahu wa ta’ala dan
Singa RasulNya ini tak membiarkan satu lawan pun kecuali terlibas olehnya,
namun tanpa ia sadari tiba-tiba sebuah lembing tajam milik Wahsyi bin Harb
(yang pada waktu itu belum masuk Islam) telah lama mengintainya, menusuk dan
merobek perutnya. Ia gugur sebagai syahid.
Abu Bakar, Umar bin Al-Khathab, Sa’ad bin Abi Waqash dan
seluruh pasukan Islam radhiyallahu ‘anhum mengerahkan segala
keberanian menggempur dan memporak-porandakan pertahanan lawan yang semakin
rapuh. Pasukan Quraisy kalang-kabut tak mampu memberi perimbangan terhadap
serangan pasukan Islam. Barisan musuh semakin kacau-balau. Tak pelak, mereka
lari centang-perenang meninggalkan medan laga, dan lalai dengan ambisi buruk
yang selama ini mereka impikan. Prajurit wanita Quraisy lari terbirit-birit ke
perbukitan sembari menyingsingkan pakaian hingga tersingkap betis-betis mereka.
Begitulah Allah subhanahu wa ta’ala selalu
memberi pertolongan kepada hamba-hambaNya selama mereka menolong agamaNya.
Kesalahan Fatal Pasukan Pemanah
Kaum muslimin unggul diatas angin menguasai medan laga. Tak
ada perlawanan yang berarti dari Quraisy, mereka lari terbirit-birit
meninggalkan harta benda yang melimpah. Kaum muslimin merasa telah keluar
sebagai pemenang. Rasanya tak ada pekerjaan lain, kecuali sibuk mengumpulkan
harta rampasan perang yang tercecer. Mulailah kecintaan terhadap dunia
menghinggapi hati sebagian besar pasukan pemanah. Mereka khawatir akan tidak
mendapat bagian rampasan perang. Mereka meninggalkan bukit strategis itu
dan lalai terhadap wasiat Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa
sallam. Komandan pasukan pemanah, Abdullah bin Jubair Al-Ansharyradhiyallahu
‘anhu, mengingatkan mereka seraya berkata,
“Lupakah kalian dengan wasiat Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wa sallam?”
Namun apa daya, mereka tak mengindahkan nasehat sang
komandan. Empat puluh orang pasukan turun meninggalkan tugas inti mereka.
Kini pertahanan inti kaum muslimin dalam kondisi rawan.
Jantung pertahanan pasukan Islam melemah tanpa mereka sadari. Kholid bin Al-Walid,
salah satu komandan pasukan berkuda Quraisy, tak membiarkan kesempatan emas itu
lewat begitu saja. Panglima perang yang tidak pernah kalah dalam setiap
pertempuran baik ketika masih kafir maupun setelah masuk Islam itu secepat
kilat memutar haluan arah pasukan kuda Quraisy. Ia memacu kudanya dengan segala
ambisi merebut posisi paling strategis, yaitu bukit para pemanah. Musuh
menyergap dan mengepung sisa pasukan pemanah. Para pemanah tak kuasa menghalau
serangan mendadak itu. Sepuluh orang pemanah gugur satu persatu fi
sabilillah berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala –semoga
Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka semua–.
Kuda Kholid bin Walid meringkik dengan suara yang dikenali
pasukan Quraisy. Seorang wanita Quraisy, ’Amrah Al-Haritsiyyah, memungut dan
mengibarkan kembali panji perang yang tergeletak sejak awal pertempuran.
Quraisy bersatu dan bangkit semangat mereka untuk menyerang balik. Mereka
mengepung kaum muslimin dari dua arah. Posisi kaum muslimin terjepit dan dengan
mudah mereka membantai para mujahidin. Kini musuh mampu menguasai bukit.
Kemudian mereka merangsek menyerang sisa pasukan Islam yang lain. Posisi mereka
seakan berada diantara gigi-gerigi mesin penggilas. Pertahanan kaum muslimin
semakin rapuh. Kondisi berubah seketika.
Barisan pasukan Islam semakin kacau balau. Susah membedakan
antara kawan dan lawan. Bahkan ada diantara mereka yang saling menyerang karena
gaduh dan gawatnya kondisi. Ayah Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu
‘anhuma pun menjadi korban salah sasaran.
Kabar dusta kematian Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wa sallam
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu, duta Islam
pertama di Madinah, salah satu pemegang panji komando, tewas di tangan Ibnu
Qim’ah. Setelah berhasil membunuhnya, ia berteriak, ”Muhammad telah tewas!” karena
menyangka bahwa Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu adalah
Rasulullahshallalallahu ‘alaihi wa sallam. Memang Mush’ab adalah seorang
shahabat yang bentuk fisik dan perawakannya sangat mirip dengan
Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Teriakan itu kontan
membuat semangat para shahabat radhiyallahu ‘anhum turun
drastis. Di sisi lain, serangan Quraisy semakin membabi buta terhadap pasukan
Islam hingga terbunuh sejumlah shahabatradhiyallahu ‘anhum.
Jiwa pasukan Islam lemah tak tahu kemana mereka akan
melangkah. Sebagian mereka terduduk tak tahu apa yang ditunggu, bahkan sebagian
mereka berpikir untuk menghubungi Abdullah bin Ubay bin Salul –salah satu tokoh
munafiqin– guna meminta perlindungan keamanan dari Abu Sufyan (yang ketika itu
belum masuk Islam).
Kala itu Anas bin An-Nadhri radhiyallahu ‘anhu melewati
mereka seraya berkata,
”Apa yang kalian tunggu?” Mereka berkata, ”Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wa sallam telah terbunuh,” jawab mereka lemas. ”Apa yang
kalian pikirkan terhadap kehidupan sepeninggal beliau?! Bangkit dan matilah
kalian diatas matinya Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam!”
Lalu ia berkata, ”Ya Allah, aku meminta udzur atas sikap mereka (muslimin), dan
aku berlepas diri dari perbuatan mereka (musyrikin).” Lalu ia maju ke arah
musuh. ”Hendak kemana engkau, wahai Abu Umar?” tanya Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu
‘anhu. “Sungguh aku mencium bau Al-Jannah (surga) di bawah Uhud, wahai
Sa’ad!” ujarnya. Lalu ia maju menyerang musuh sampai gugur dengan lebih dari
delapan puluh luka di badannya. Tidak ada yang dapat mengenali jenazahnya
kecuali saudarinya yang mengenali jari-jemarinya.
Tsabit bin Ad Dihdah radhiyallahu ‘anhu menyeru,
“Wahai orang-orang Anshar, kalaupun Muhammad telah mati,
maka Allah tidak akan pernah mati! Beperanglah atas nama agama kalian, niscaya
Allah menolong kalian!” Majulah sekelompok orang dari Anshar menyerang pasukan
Khalid bin Walid namun semuanya gugur fi sabilillah.
Setelah terbunuhnya Mush’ab radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallammemberikan panji perang
pada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ia pun menyerang musuh
bersama sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum dan telah
menghabiskan segala kemampuan.
Jagoan Quraisy menjadikan Rasulullah shallalallahu
‘alaihi wa sallam sebagai target operasi utama. Beliau shallalallahu
‘alaihi wa sallam hanya didampingi sembilan orang shahabat radhiyallahu
‘anhum. Adapun pasukan muslimin yang lain tercerai-berai. Beliau shallalallahu
‘alaihi wa sallammenyeru para shahabat dengan teriakan, ”Kemarilah! Aku
adalah Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Namun, kaum musyrikin lebih dahulu mendengarnya, secepat
kilat mencari sumber suara, dan disitulah mereka mendapatkan manusia mulia yang
selama ini mereka berambisi besar untuk membunuhnya. Gugur tujuh orang, yang
kesemuanya dari kalangan Anshar, dari sembilan orang shahabat yang melindungi
Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun dua orang yang
tersisa adalah dari kalangan Muhajirin, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin
Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhuma.
Saat itu, musuh dengan leluasa menyerang
Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Utbah bin Abi
Waqqash melukai bibir beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam dengan
lemparan batu. Abdullah bin Shihab Az-Zuhry menciderai pipi beliau shallalallahu
‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Qim’ah menyabetkan pedangnya pada pundak
beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam, yang menyebabkan rasa sakit
lebih dari sebulan, namun sabetan tersebut tidak berhasil menembus baju besi
beliaushallalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak puas dengan itu, Abdullah
menyabetkan kembali pedangnya tepat di pipi beliau shallalallahu
‘alaihi wa sallam.
”Rasakan ini! Aku adalah Ibnu Qim’ah!” teriak Abdullah bin
Qim’ah bengis. Topi besi beliaus hallalallahu ‘alaihi wa sallam rusak.
Pecahan rantainya menembus pipi hingga pecah gigi seri beliau shallalallahu
‘alaihi wa sallam. Tak ayal darah membasahi wajah suci manusia termulia itu
shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhuma menghabiskan
tenaga melindungi Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam hingga
putus beberapa jari-jemari Thalhah radhiyallahu ‘anhu.
Akhir Pertempuran
Jumlah korban kaum muslimin dalam periode perang kali ini
memang lebih banyak dibanding jumlah korban kaum musyrikin. Oleh karena itu,
mayoritas ahli sejarah menyatakan bahwa kaum muslimin mengalami kekalahan dalam
pertempuran Uhud.
Hikmah yang Terkandung di dalamnya :
- Memahamkan kepada kaum muslimin betapa buruknya akibat kemaksiatan dan mengerjakan apa yang telah dilarang Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika barisan pemanah meninggalkan pos-pos mereka yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam.
- Sudah menjadi kebiasaan bahwa para Rasul ‘alaihimus salam juga menerima ujian dan cobaan, yang pada akhirnya mendapatkan kemenangan. Di antara hikmahnya, apabila mereka senantiasa mendapatkan kemenangan, tentu orang-orang yang tidak pantas akan masuk ke dalam barisan kaum mukminin sehingga tidak bisa dibedakan mana yang jujur dan benar; dan mana yang dusta. Sebaliknya, kalau mereka terus-menerus kalah, tentulah tidak tercapai tujuan diutusnya mereka. Sehingga sesuai dengan hikmah-Nya terjadilah dua keadaan ini.
- Ditundanya kemenangan pada sebagian pertempuran, adalah sebagai jalan meruntuhkan kesombongan diri. Maka ketika kaum mukminin diuji, lalu mereka sabar, tersentaklah orang-orang munafiqin dalam keadaan ketakutan.
- Allah subhanahu wa ta’ala mempersiapkan bagi hamba-Nya yang beriman tempat tinggal di negeri kemuliaan-Nya yang tidak bisa dicapai oleh amalan mereka. Dia tetapkan beberapa sebab sebagai ujian dan cobaan agar mereka sampai ke negeri tersebut.
- Bahwasanya syahadah (mati syahid) termasuk kedudukan tertinggi bagi para wali Allahsubhanahu wa ta’ala.
- Perang Uhud ini seakan-akan persiapan menghadapi wafatnya Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala meneguhkan mereka, dan mencela mereka yang berbalik ke belakang, baik karena Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh atau meninggal dunia.
- Hikmah lain adalah adanya pembersihan terhadap apa yang ada di dalam hati kaum mukminin. (Lihat Fathul Bari, 7/433).
0 Comment:
Post a Comment