Ibnu Zubair telah mengenal perang sejak berusia 12 tahun,
yaitu ketika bersama ayahnya turut dalam Perang Yarmuk, dan empat tahun
kemudian kembali menyertai ayahnya yang menjadi anggota pasukan Amr bin As di
Mesir. Ibnu Zubair juga mengambil bagian dalam ekspedisi Abdullah bin Sa’ad bin
Abi Sarh melawan orang-orang Byzantium di Afrika. Semua peristiwa tersebut
mengundang kekaguman penduduk Madinah kepadanya.
Di masa Khalifah Usman bin Affan, ia duduk sebagai anggota
panitia yang bertugas menyusun Al-Qur’an. Di masa KhalifahAli bin Abi Talib, ia
bersama Aisyah mengatur langkah untuk menantang Khalifah tersebut untuk menuntut
penyelesaian kasus pembunuhan Khalifah Usman. Gerakan ini didukung oleh
beberapa tokoh, seperti Ja’la bin Umayyah dari Yaman, Abdullah bin Amr Basra,
Sa’ad bin As, dan Wahid bin Uqbah (pemuka kalangan Umayyah di Hedzjaz) dan
beberapa sahabat senior (Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam), dan
ayahnya. Perselisihan antara kelompoknya dan kelompok Ali yang sedang berkuasa
diselesaikan dalam Perang Unta (Waqiah al-Jamal). Dalam perang inilah ia
menyaksikan ayahnya gugur. Disebut Perang Unta karena Aisyah mengendarai unta
saat memimpin pasukan itu.
Ibnu Zubair kembali melawan Dinasti Bani Umayyah. Meskipun
di masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan bentuk perlawanannya belum bersifat terbuka,
ia tampil menantang khilafah (pemerintahan) Bani Umayyah secara terang-terangan.
Ia memprotes Yazid, putra Mu’awiyah, yang naik menjadi khalifah atas penunjukan
ayahnya setelah ayahnya wafat. Yazid memerintahkan walinya di Madinah untuk
memaksa Ibnu Zubair bersama Husein bin Ali (cucu Nabi) dan Abdullah bin Umar
agar menyatakan kesetiaan kepadanya. Ibnu Zubair dan Husein tetap membangkang.
Demi keamanan, keduanya pindah ke Mekah. Ia tetap sebagai penantang khalifah
sekalipun Husein, tak lama sesudah itu, tewas dengan menyedihkan dalam
pertempuran tak seimbang di Karbala.
Pernyataan secara terbuka, bahwa kekuasaan Yazid tidak sah
membawa pengaruh luas dikalangan ansar di Madinah yang akhirnya melahirkan
pemberontakan. Setelah menunggu kesempatan yang baik, Yazid mengerahkan tentara
Suriah di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah dan memadamkan pemberontakan
orang-orang Madinah tersebut dalam Perang Harran. Kematian Muslim bin Uqbah tak
menghalangi tentara tersebut untuk bergerak menuju Mekah dengan sasaran
mematahkan perlawanan Ibnu Zubair. Tentara tersebut mengepung dan menghujani kota
Mekah dengan batu dan panah api yang menyebabkan Ka’bah terbakar. Berita
meninggalnya Khalifah Yazid menyebabkan komandan pasukan, Husain bin Numair,
mencoba membujuk Ibnu Zubair agar bersedia bergabung dengan mereka untuk
kembali ke Suriah. Ibnu Zubair menolak bujukan tersebut dengan mengatakan bahwa
ia akan tetap di Mekah. Selanjutnya, ia memproklamasikan dirinya sebagai
amirulmukminin. Sekalipun proklamasi itu tidak lebih dari sekedar nama, namun
lawan-lawan dinasti Bani Umayyah di Suriah, Mesir, Arab Selatan, dan Kufah
sempat menghargainya sebagai khalifah.
Setelah Mu’awiyah putra dan pengganti Yazid meninggal dunia,
Ibnu Zubair muncul sebagai kandidat khalifah atas dukungan Bani Qais. Selain
itu ada kandidat lainnya yaitu, Marwan bin Haqam (dukungan Bani Qalb) dan dua
kabilah Arab berdomisili di Suriah, juga saling bersaing mengajukan calon
masing-masing. Akan tetapi, Ibnu Zubair terpojok tatkala peta kekuatan politik
mengalami perubahan, akibat pemberontakan di Kufa dan pembelontan di antara
pengikutnya, setelah Yazid wafat. Pengepungan membawa kematiannya terjadi
ketika Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi ditugaskan oleh khalifah Abdul Malik bin
Marwan, putra Marwan bin Hakam, untuk menyelesaikan perlawanan “Sang Penantang
Enam Khalifah” – dari Ali, Mu’awiyah, Yazid, Mu’awiyah, Marwan bin Hakam,
sampai Abdul Malik.
Tidak kurang dari tujuh bulan diperlukan untuk menghujani
kota suci Mekah dan Ka’bah dengan bombardir pasukan al-Hajjaj untuk melumpuhkan
perlawanan Ibnu Zubair. Ia masih bertahan tatkala putra-putranya menyerahkan
diri kepada al-Hajjaj. Keperkasaannya bangkit kembali setelah berjumpa sebentar
dengan ibunya yang sudah buta, yang mendorongnya dengan memberikan semangat
juang. Padahal sebelumnya, ia sempat menyatakan kepada ibunya rasa khawatir, bahwa
mayatnya akan diperlakukan secara sadis oleh para pembunuhnya kelak. Ibunya
mengatakan bahwa kambing yang sudah disembelih tak sedikit pun akan merasakan
sayatan-sayatan pada dagingnya. Jawaban ini mendorongnya keluar dari rumah
tempat ia bertahan , maju ke tengah-tengah lawannya yang kemudian menyergap dan
menghabisinya. Mayatnya ditempatkan pada tiang gantung yang sama di mana
saudaranya, Amr, pernah mengalami hal serupa. Atas perintah Abdul Malik,
mayatnya kemudian diserahkan kepada ibunya. Tak lama berselang, setelah
menguburkan mayat putranya itu, ia pun wafat pada tahun 94 H.
0 Comment:
Post a Comment